Saat ini Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia terus menghadapi beberapa tantangan yang cukup berat akibat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan perubahan lingkungan yang justru semakin memburuk. Banjir yang terus terjadi setiap musim hujan kini menjadi saksi bahwa Jakarta sedang tidak baik- baik saja. Mungkin dibenak kita pasti berfikir mengapa tidak dilakukan reklamasi seperti yang dilakukan Negara Belanda dahulu dengan menguruk laut untuk menambah daratan? Ternyata hal itu bukanlah sesuatu yang mudahdilakukan jika hanya berdasarkan teori.
Beberapa tahun kebelakang Jakarta telah melakukan beberapa proyek reklamasi, salah satu contohnya yaitu proyek reklamasi Teluk Jakarta. Proyek ini telah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari protes yang dilakukan masyarakat sampai persoalan hukum, hingga dampak lingkungan yang merugikan (Mauriend, 2018).
Gambar 1. Masyarakat menolak Reklamasi Teluk Jakarta
Sumber: Kompas.com
Dengan kondisi ratusan titik di Jakarta yang mengalami penurunan muka tanah dengan rata-rata 3,9-10 cm per tahun (Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB & Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, 2024) dan risiko banjir yang tinggi, akan muncul pertanyaan apakah reklamasi masih merupakan solusi yang tepat bagi Jakarta?
Dengan persoalan tersebut, reklamasi memiliki bebagai pro dan kontra dengan alasan yang beragam pula. Masyarakat yang pro terhadap reklamasi berharap bahwasanya akan ada lapangan pekerjaan yang baru sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi warganya. Selain itu pengurangan kepadatan penduduk dengan adanya lahan baru untuk permukiman juga menjadi alasan mengapa sebagian masyarakat setuju dengan adanya reklamasi.
Sedangkan masyarakat yang tidak menyetujui adanya reklamasi juga mempunyai alasannya sendiri. Misalnya saja para nelayan yang tinggal disekitar laut akan merasa sangat dirugikan karena akan mengurangi pendapatan mereka (BBC News Indonesia, 2016). Hal lain yang menjadikan masyarakat menolak reklamasi yaitu dampak lingkungan yang dihasilkan dari alat berat, material, dan pengeboran yang menyebabkan kekeruhan pada air yang pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan biota laut (Andriyono, 2024). Alasan yang terakhir adalah masalah penurunan tanah akibat reklamasi yang sudah disebutkan sebelumnya.
Reklamasi sendiri sudah menjalani beberapa kali penelitian dan menunjukkan bahwa reklamasi dapat menjadi solusi yang efektif apabila dilakukan dengan perencanaan yang matang. Salah satunya dengan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi dampak lingkungan dari proyek reklamasi (Andriyono, 2024). Contoh yang dapat kita amati adalah proyek reklamasi yang sudah dilakukan oleh Belanda dengan melakukan perluasan di Kota Amsterdam dan Rotterdam dengan menggunakan sistem pengelolaan air yang canggih dan berkelanjutan. Mereka membangun polder yang berfungsi untuk mengelola air, mencegah banjir dan mempertahankan wilayah reklamasi dari air pasang.
Gambar 2. Sistem Polder di Belanda
Sumber: Urban Political Ecology
Namun, proyek reklamasi yang sudah dilakukan di Indonesia seperti reklamasi di Teluk Jakarta, menunjukkan banyak kelemahan pada sistem pengelolaan lingkungan yang kurang dipertimbangkan. Sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan, reklamasi di Teluk Jakarta menyebabkan penurunan kecerahan perairan, penurunan keragaman fitoplankton dan makrozoobenthos, penurunan produksi perikanan, hingga mengurangi nilai manfaat rata-rata dari hutan mangrove. Selain itu, proyek reklamasi ini seringkali hanya mementingkan keuntungan dan kepentingan ekonomi karena memiliki value yang besar (Djamil, Gumilang, & Hantono, 2022) daripada kesejahteraan masyarakatnya sendiri.
Reklamasi di Jakarta merupakan isu kompleks dengan dampak yang luas. Meskipun menawarkan peluang ekonomi dan pembangunan, dampak lingkungan dan sosialnya tidak bisa diabaikan. Dengan kondisi Jakarta yang terus mengalami penurunan muka tanah dan risiko banjir yang semakin tinggi, reklamasi bukanlah solusi utama yang dapat diterapkan tanpa pertimbangan matang.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat fokus pada solusi yang lebih berkelanjutan, seperti
-
Restorasi Kawasan Pesisir, dengan mengembalikan ekosistem alami sebagai pelindung alami terhadap abrasi dan banjir.
-
Peningkatan Sistem Drainase dan Pengelolaan Air, dengan memperbaiki tata kelola air tanah untuk mengurangi penurunan muka tanah.
- Relokasi Pusat Kegiatan Ekonomi, yang mendorong pengembangan kota-kota satelit agar Jakarta tidak terlalu terbebani.
Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi, keputusan mengenai reklamasi Jakarta harus diambil secara hati-hati. Jika tidak, alih-alih menjadi solusi, reklamasi bisa menambah masalah baru bagi ibu kota.