Banjir di Jakarta Selatan bukan sekadar masalah local, tetapi bagian dari fenomena yang lebih luas di Jabodetabek. Tiap kali hujan lebat, area perumahan maupun yang elit sekalipun mengalami kebanjiran, memancing kritik dari public dan pengamat tata ruang. Ada berbagai faktor yang membuat hal itu terjadi. Opini public tentang akar masalah banjir di Jakarta Selatan sangatlah beragam, muli dari curah hujan yang ekstrem hingga perencanaan kota yang buruk. 

Banyak warga menganggap hujan intens sebagai pemicu langsung banjir. Menurut WRI Indonesia, curah hujan ekstrem makin sering terjadi karena krisis iklim. Salah satu suara publik dan pejabat menyebutkan Sungai Ciliwung berkontribusi sebanyak 40 persen sebagai penyebab banjir. 

Sebagian publik dan ahli menyoroti bahwa Jakarta, termasuk bagian selatan, mengalami penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah. Peneliti dari BRIN menyebutkan bahwa penurunan tanah menjadi salah satu faktor utama peningkatan risiko banjir.

Selain itu, persoalan drainase yang tidak memadai juga menjadi sorotan publik. Di Ketahui bersama bahwa drainase yang ada di Jakarta Selatan mengalami penyempitan oleh sampah bahkan tertutup oleh bangunan. Kondisi ini membuat kapasitas saluran untuk menampung dan mengalirkan limpasan hujan menjadi sangat terbatas. Ketika hujan deras turun, air tidak dapat mengalir dengan cepat menuju sungai atau kanal terdekat, melainkan meluap dan menggenangi permukaan jalan serta pemukiman. Urbanisasi yang cepat tanpa diimbangi keberadaan ruang terbuka hijau turut memperburuk situasi. Dua dekade terakhir Jakarta Selatan masif membangun hunian vertikal, pusat komersial, secara tidak langsung mengurangi daerah resapan air. Alih fungsi lahan yang masif ini menyebabkan kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang drastis karena permukaan keras seperti beton dan aspal mendominasi ruang kota.

Akibatnya, air hujan yang seharusnya dapat meresap kedalam tanah berubah menjadi limpasan permukaan (runoff) dalam volume besar. Limpasan besar ini  kemudian mengalir menuju titik paling rendah yang ada disekitar kawasan, menciptakan genangan yang sulit surut apabila drainase tidak berfungsi dengan baik. l. Para ahli tata kota juga menyoroti bahwa sistem drainase di Jakarta banyak yang dirancang dengan kapasitas lama, tidak lagi sesuai dengan intensitas hujan saat ini yang meningkat setiap tahun akibat perubahan iklim. Sebuah daerah di Jakarta Selatan drainasenya kecil padahal kawasan tersebut merupakan sebuah kawasan padat penduduk  dan lebih banyak bangunannya. 

Di sisi lain, sistem pengendalian banjir lintas wilayah yang tidak sinkron antara Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi turut memperbesar masalah. Kawasan-kawasan ini terhubung secara hidrologis dalam satu sistem aliran sungai, terutama Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Pesanggrahan yang hulunya berada di wilayah perbukitan Bogor dan sekitarnya. Ketika curah hujan tinggi terjadi di hulu, air dalam jumlah besar bergerak cepat menuju hilir, sementara kapasitas saluran dan sungai di Jakarta tidak mampu menampung lonjakan debit tersebut. Air yang datang dari hulu, khususnya kawasan Puncak dan Bogor, kerap meluap sebelum mencapai pintu-pintu air di Jakarta karena aliran tertahan oleh sedimentasi, penyempitan sungai, atau kurangnya infrastruktur pengendali banjir di wilayah peralihan antara Bogor dan Depok.

Banjir di Jakarta Selatan merupakan sebuah bencana yang kompleks yang tidak dapat dijelaskan oleh satu faktor tunggal. Curah hujan yang tinggi merupakan salah satu pemicu  peningkatan volume air, namun akar masalahnya jauh lebih dalam lagi. Penurunan permukaan tanah, drainase yang tidak memadai,  urbanisasi masif yang mengurangi ruang resapan, serta alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun semuanya berkontribusi signifikan dalam memperburuk kondisi banjir. Selain itu ketidak singkronan sistem pengendali banjir lintas wilayah Jabodetabek, terutama hubungan hidrologi antar kawasan hulu dan hilir, membuat Jakarta Selatan rentan ketika debit air dari Bogor dan Depok tidak dapat ditangani secara optimal. Dengan demikian banjir Jakarta selatan semakin rentan ketika debit air dari Bogor dan Depok tidak dapat ditangani secara optimal. Dengan demikian Banjir Jakarta Selatan harus dipandang sebagai persoalan struktural yang memerlukan solusi menyeluruh mulai dari penguatan tata ruang, modernisasi drainase, koordinasi regional hulu ke hilir, hingga kebijakan adaptasi iklim agar risiko banjir dapat dikurangi secara berkelanjutan.

Sumber:

https://www.antaranews.com/berita/5016785/ini-konstribusi-sungai-ciliwung-terhadap-penyebab-banjir-di-jakarta

https://wri-indonesia.org/id/wawasan/mengapa-jakarta-sering-mengalami-banjir-dan-bagaimana-adaptasi-nature-based-solutions-nbs

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7812993/pakar-brin-ungkap-penyebab-banjir-jabodetabek-faktor-cuaca-penurunan-tanah?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2021). Rencana Induk Sistem Drainase Jakarta. Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta.

Putri, R. A., & Sandra, F. (2021). Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Peningkatan Limpasan Permukaan di Jakarta Selatan. Jurnal Planologi, 18(1), 45–58.

Syahbana, J., & Suprapto, A. (2020). Kajian Sistem Pengendalian Banjir Terpadu Jabodetabek–Puncak–Cianjur. Kementerian PUPR, Direktorat Sumber Daya Air.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2020). Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur. Jakarta: Kementerian ATR/BPN.